Terpaksa Makan Batu

Kisah ini berawal pada tahun 1970. Sungai Krasak yang berhulu di Gunung Merapi memberikan kelimpahan kepada masyarakat di sepanjang sungai ini, dari suburnya tanah hingga material yang dapat dieksploitasi untuk pengembangan peradaban manusia. Segala sesuatu yang berasal dari sungai itu dapat menghasilkan uang.

Masyarakat di sekitar sungai kebanyakan berrpofesi sebagai petani dan peternak. Namun di samping itu mereka mempunyai pekerjaan sambilan yang cukup menjanjikan, yaitu sebagai tenaga pengumpul pasir. Saking menggiurkannya, banyak anak usia sekolah tidak mau sekolah, tetapi hanya mencari uang di sungai ini.

Sungai Krasak riwayatmu kini

Setiap harinya beribu-ribu truk turun ke sungai itu untuk mengambil pasir kemudian pasir-pasir ini diangkut ke kota-kota besar di Jawa Tengah sebagai bahan bangunan.

Pada tahun 1980 pemerintah mengijinkan kaum kapitalis untuk bermain di Sungai Krasak ini. Mereka di beri keleluasaan untuk mengambil pasir-pasir itu secara besar-besaran di hulu sungai, karena mereka dianggap memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah dengan membayar restribusi atau kontrak pengelolaan lahan tambang galian golongan C ini. Sedangkan selama ini penambangan pasir oleh masyarakat sekitar dianggap liar, karena tanpa membayar pajak/restribusi sedikitpun.

Pada akhir tahun 1999 saat aku menjadi salah satu penghuni desa di tepi Sungai Krasak ini, kegiatan muat pasir masih berlangsung. Setiap harinya, rata-rata tiap 10 menit datang truk untuk turun ke Sungai untuk mengambil pasir. Pada saat hari-hari pertama di desa ini setiap malam aku nggak bisa tidur nyenyak akibat suara truk-truk yang lewat itu.

Kini sepuluh tahun telah lewat. Keadaan berubah drastis. Hulu sungai Krasak di kaki merapi yang dulu hijau, kini gersang kerontang. Akibat tangan-tangan raksasa back hoe milik para kapitalis. Hal ini berdampak hingga sungai Krasak di sebelah barat desaku. Hampir seluruh pasir  di sepanjang Sungai Krasak di desaku itu sudah lenyap. Kata orang, kalau merapi belum meletus ratusan kali material sungai berupa pasir dan batu tidak akan sampai ke sini.

Generasi yang 10 – 20 tahun lalu berjaya itu, kini terpaksa makan batu. Tiap hari mereka mengambil batu-batu kecil, sebesar kepalan orang dewasa dengan menggunakan keseran ataupun tenggok. Kemudian batu-batu itu dipecah secara manual dengan pukul besi. Kadang hingga ada yang terpukul tangannya sampai berdarah-darah. Namun, demi kelangsungan hidup mereka tetap bertahan. Pecahan-pecahan batu yang terkumpul hingga menggunung, masih harus menunggu pembeli berhari-hari untuk diangkut truk-truk dibawa ke proyek-proyek bangunan. Setelah itu mereka baru dapat merasakan hasilnya berupa lembaran ribuan untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari. Kadang-kadang aku berpikir, apakah saudara-saudaraku ini akan tetap bertahan seperti ini?

Batu split siap menunggu pembeli

5 pemikiran pada “Terpaksa Makan Batu

  1. nasibnya sama dengan pehuma di hutan2 sumatera, kalimantan, papua, dlsb… mereka dianggap perambah hutan yang membuat kerusakan, padahal mereka mempunyai tata aturan adat istiadat yang sangat menghormati kelestarian hutan… berbeda dengan para pemegang HPH, karena mereka memberikan kontribusi langsung kepada negara, mereka dianggap legal dan pemerintah pun mengabaikan kerusakan luar biasa atas sumber daya alam…
    kasihan! pencari batu dan pehuma selalu dijadikan kambing hitam…
    **bila saja tidak ada alat berat yang diijinkan masuk ke area2 galian batu dan pasir, barangkali merapi tak serusak sekarang ini…

  2. Sekarang setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Merapi, ada patok merah yang tidak boleh dimasuki siapapun kecuali petugas. Namun sangat disayangkan kawasan di bawahnya belum mendapat perawatan/penghijauan yang layak seperti semula.

  3. ndherek mampir!
    Itulah Indonesia Raya!!!!!?????? 🙂

  4. Ya, yang penting masyarakat setempat nrimo dan banyak bersyukur kepada Alloh karena masih bisa berusaha mencari nafkah.Itulah kunci kebahagiaan

  5. kunjungi situs saya www. Lemuria-edge . blogspot . com

    selamat mencoba

Tinggalkan komentar